بسم الله الرحمن الرحيم
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2) الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ (3) وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ (4) فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6) فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)
- Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.
- Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?,
- dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu,
- yang memberatkan punggungmu,
- dan Kami tinggikan sebutan nama(mu) bagimu.
- Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,
- sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.
- Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain),
- dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap
Kedelapan ayat ini dikemas dalam satu surat yang dinamakan Al-Insyirah, atau Asy-Syarh, atau Alam Nasyrah. Turun di kota Mekkah, sehingga tergolong dalam surat-surat Al-Makkiyyah. Nomor urut surat dalam mushaf Al-Qur’an adalah yang ke-94 dari 114 surat. Surat ini diturunkan setelah QS.Adh-Dhuha.
Alam nasyrah laka shadrak, demikian lah Al-Khaliq berfirman di pembuka surat ini. Kata Alam pada awal surat mengandung makna “al-istifham lit-taqriir”, yaitu bahwa sesungguhnya Allah menetapkan bagi rasul-Nya akan berbagai kenikmatan. Kami lapangkan untukmu wahai Muhammad dadamu, yakni dengan nubuwwah (amanat kenabian), dengan jalan membedah dadanya, mensucikannya, dan me-refill-nya dengan iman dan hikmah.
Wawadha’na ‘anka wizrak ; Dan Kami hapuskan darimu segala kekhilafanmu wahai Muhammad atas apa yang telah berlalu dari mengikuti masa-masa kejahiliyahan sebelum masa kenabianmu.
Alladzi anqadha dzhahrak ; Yang membebani punggungmu. Sebagaimana ia Rasulullah merasakan beban hidup yang berkepanjangan yang dilaluinya sebelum datangnya amanah kenabian. Beban itu tak lain adalah masa-masa di mana ia belum beribadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang disukai-Nya dan meninggalkan apa yang dibenci-Nya, karena ketiadaan pengetahuannya akan hal itu.
Wa rafa’na laka dzikrak, Dan Kami tinggikan untukmu sebutanmu. Kami tinggikan kehormatan namamu, sehingga namamu wahai Muhammad, terukir bersama nama-Ku (Allah) dalam indahnya kumandang adzan dan iqamah, serta tersebut dalam untaian bacaan tasyahhud dalam shalat.
Fa inna ma’al ‘usri yusran; Sesungguhnya bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan.
Inna ma’al ‘usri yusran; Sungguh dibalik problematika, pasti ada solusinya.
Faidza faraghta; Jika engkau telah usai dari kewajibanmu (contoh: shalat), fanshab; maka kerjakan hal lain yang bermanfaat (contoh : doa).
Wa ila Rabbika farghab; Dan kepada Tuhan-mu lah hendaknya engkau berharap, menyandarkan diri hanya pada-Nya. Rujuklah kepada-Nya sembari berharap akan segala sesuatu yang menjadi kekayaan-Nya berupa kebaikan dan keberkahan yang tiada bertepi.
Menurut Abi Bakar Jabir Al-Jazairi dalam karyanya Aysarut-Tafasir li Kalamil ‘Aliyyil Kabiir, ketiga ayat di awal surat ini menunjukkan betapa Allah telah menjaga Muhammad s.a.w dengan 3 hal fundamental: Yang pertama: Syarhush-shadr (=melapangkan dada-nya), Yang kedua: Wadh’ul wizr (=Menghapuskan beban dosa), Yang ketiga: Raf’u Adz-Dzikr (=meninggikan sebutannya/namanya/martabatnya).
Dalam hal syarhush-shadr, Allah menghendaki bagi Muhammad s.a.w. agar lapang dadanya atau lunak hatinya dalam menerima pesan wahyu (risalah), yang dengan kelapangan dada tersebut, akan menjadikan dirinya tegar (tough) ketika menghadapi kaumnya yang buruk perangainya dan nista tutur katanya, yang mana hal-hal tersebut menyebabkan ciut nyali dan sempit hati. Maka langkah syarhus-shadr adalah the first essential step untuk menjadikan pribadi Muhammad s.a.w. kian elegan dan ready to struggle (=siap tempur dalam mengemban risalah).
Dalam hal wadh’ul wizr, hakikatnya adalah Allah telah mencabut dari diri Muhammad s.a.w. dosa-dosanya, yaitu menghilangkan perasaan bersalah dari dirinya karena ketidaktahuannya akan aturan-aturan ibadah dan prinsip-prinsip taat kepada Dzul Jalali wal Ikram, semasa 40 tahun hidupnya sebelum diutus sebagai Rasul. Namun satu hal yang terpuji dari sosok Muhammad s.a.w. adalah ia betul-betul terjaga dari perilaku peribadatan kepada berhala, tiada meneguk khamr atau minuman keras, dan tak pula ia mengerjakan dosa apa pun.
Telah dibelah dadanya, sedangkan ia Muhammad s.a.w. saat itu adalah seorang bocah yang berumur 4 tahun. Dikeluarkanlah dari dadanya itu segumpal darah yang menjadi tempat bersemayamnya syaithan, yang sejatinya syaithan itu menyelam dalam gumpalan tersebut dan membisikkan kejahatan pada manusia (yuwaswisu fi shudurinnaas).
Wa rafa’na laka dzikrak ; Dan Kami tinggikan untukmu sebutanmu. Saksikanlah betapa Allah telah meninggikan nama Muhammad s.a.w. dalam level yang sedemikian tingginya. Namanya bersanding bersama nama Sang Pencipta, dalam untaian syahadatain: Asyhadu alla ilaaha illallah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, dua kalimat yang menjadi address dari keislaman setiap insan. Namanya tersebut dalam kumandang adzan dan iqamah, yang senantiasa diperdengarkan setiap kali masuk waktu-waktu shalat fardhu. Namanya disebut dalam bacaan tasyahhud dalam rukun shalat, dalam mimbar-mimbar jumat, pada khotbah 2 hari raya besar: Idul Fitri dan Idul Adha, pada kumandang takbir dan tahmid di hari-hari Tasyriq. Begitu pula saat jamaah haji menunaikan rukun-rukun haji mereka, di Sofa dan Marwah, di padang Arafah, di Jamarat, dan di dzikir pagi maupun petang. Bahkan lebih daripada itu semua, nama Muhammad disebut di dalam kitab-kitab suci yang turun sebelum Al-Qur’an.
Fa inna ma’al ‘usri yusran ; Sesungguhnya bersama dengan kesulitan itu ada kemudahan.
Inna ma’al ‘usri yusran; Sungguh, dibalik setiap problematika itu ada solusinya.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya “Al-Jami’ liahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin Lima Tadhammanahu Min as-Sunnah wa Ayi al-Furqan”, menukil apa yang disampaikan oleh Ibnu ‘Abbas RA atas Hadits Qudsi yang mengatakan : “Kholaqtu ‘usran wahidan, wa khalaqtu yusraini, walan yaghliba ‘usrun yusraini” ; “Aku ciptakan satu kesulitan, namun bersamaan dengan hal itu, Aku ciptakan dua kemudahan, dan tiada satu kesulitan dapat mengalahkan dua kemudahan”.
Pengulangan ayat ini menunjukkan betapa pentingnya pesan yang disampaikan dalam ayat ini. Seakan Allah mengatakan, janganlah di antara kalian menjadi pribadi yang pesimis menghadapi tantangan dan problematika, karena di setiap kesulitan, pasti ada kemudahan, di setiap himpitan hidup, krisis dan bencana, pasti ada solusinya. Bahkan satu kesulitan yang ada, sesungguhnya dibalik itu semua, ada dua kemudahan yang menanti bagi orang-orang yang optimis, selalu berikhtiar, tawakkal dan pantang menyerah.
Fa idza faraghta fanshab; Jika engkau telah tuntas dari mengerjakan satu aktivitas, maka kerjakan aktivitas lain yang bermanfaat.
Ini adalah khittah Nabi Muhammad s.a.w yang diaplikasikannya di hadapan muslimin, dan ia bersinergi bersama ummat, untuk mewujudkan bersama mereka kemenangan hakiki meraih surga-Nya, dan keselamatan bersama dari siksaan api neraka. Yaitu khittah berupa : jika engkau telah selesai dari aktivitas diniyah atau ukhrawiyah, maka kerjakan aktivitas duniamu. Jika engkau telah selesai dari shalat fardhumu, maka lanjutkanlah dengan berdzikir, berdoa, dan bermunajat akan hajat yang engkau inginkan. Jika engkau telah selesai menuntut ilmu, maka ajarkan ilmu yang bermanfaat itu untuk mencerdaskan khalayak ummat. Jika engkau telah tuntas menamatkan pendidikan sarjanamu, maka praktekkan ilmu yang didapatkan dari perguruan tinggi itu untuk memberikan pelayanan terbaik di tengah masyarakatmu, sesuai dengan kapasitas ilmu yang engkau miliki.
Wa ila Rabbika farghab ; Dan (hanya) kepada Rabb-mu sejatinya engkau berharap dan bermohon. Katakanlah Hasbiyallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’ma nashir ; Cukuplah Allah bagiku, sebaik-sebaik Penolong, sebaik-sebaik Pelindung, dan sebaik-baik Pemberi Kemenangan.
Setelah bersungguh-sungguh berusaha, bekerja keras dan berpikir cerdas, janganlah menjadi jumawa, besar kepala dan membusung dada, seakan-akan segala upaya adalah hasil dari diri sendiri, tanpa berpikir bahwa ada The Invisible Hand yang turut berperan penting mengiringi segala usaha dan upaya yang dikerjakan.
Inilah di antara sekelumit saripati QS. Al-Insyirah, yang berjajar di dalamnya nilai-nilai kebesaran Allah, yang berkuasa atas segala sesuatu. Yang memberikan kelapangan dada dan kelunakan hati. Yang mensucikan setiap jiwa yang dikehendakinya. Yang meninggikan martabat hamba yang dipilihnya. Yang memberikan solusi terhadap kesulitan yang dihadapi hamba-Nya. Yang menjanjikan dan menepati janji-Nya kepada hamba-Nya. Yang memberikan strategi bagaimana berkehidupan yang bermanfaat. Yang mengingatkan setiap insan akan pentingnya berharap dan bermohon hanya kepada-Nya.
Pendek kata, ulasan singkat ini, jika dapat dijadikan pedoman (“teologi”) bagi setiap insan di muka bumi ini, niscaya seorang pemimpin, akan memimpin dengan nilai-nilai terbaik, memimpin dengan kelapangan dada (syarh shadr), memimpin dengan kebersihan hati dan amanah serta takut mengerjakan dosa-dosa (wadh’ul wizr) , memimpin dengan bermartabat (raf’u dzikr), memimpin dengan jiwa yang optimis (fa inna ma’al ‘usri yusran), jika ia dirundung kesulitan, maka ia akan teringat akan firman-Nya, bahwa bersamaan dengan problema, Allah ciptakan kemudahan yang lebih besar daripada problema tersebut (inna ma’al ‘usri yusran). Memimpin dengan pantang menyerah, become a solution maker, berinovasi tiada henti, dan menciptakan rancangan pembangunan yang berkesinambungan untuk kemakmuran rakyatnya (fa idza faraghta fanshab). Pemimpin yang tidak sombong, yang tidak merasa dirinya yang paling berjasa atas segala kesuksesan dan kemajuan, yang selalu bertawakkal, menyadari bahwa tiada daya dan upaya kecuali atas adanya campur tangan Allah Dzul Jalali wal Ikram, yang terus berdoa dan berharap, bahwa pertolongan Allah itu nyata adanya (wa ila Rabbika farghab).
Allahu A’lam bi shawwab.