Khotbah Pertama :
الحمدُ للهِ ربِّ العالمين، الحمدُ لله الذي بِنِعْمِتِهِ تَتِمُّ الصالحاتِ، وبعَفوِه تُغفَرُ الذُّنُوْبَ والسيِّئاتِ، وبكرَمِهِ تُقبَلُ العَطايا والقُربَات، وبلُطفِه تُسْتَرُ العُيُوبَ والزَّلاَّتِ، الحمدُ لله الذي أماتَ وأحيا، ومَنَعَ وأعطَى، وأرشَدَ وهَدَى، وأضْحَكَ وأبْكَى؛ الحمدُ لله الذي جعَل الأَعْياَدَ في الإسلام مَصدرًا للهِّناءِ والسُّرُوْرِ، الحمد لله الذي تَفَضَّلَ في هذه الأيَّام العَشْرِ على كلِّ عبدٍ شَكُور، سبحانه غافِرِ الذَنْبِ وقابِل التَّوبِ شَدِيْدِ العِقاب
أشهد أن لاإله الا الله وحده لا شريك له و أشهد أنّ سيّدنا محمدا عبده ورسوله خاتمَ النّبيّين رَحْمَةً للـمؤمنين وحجّة للجاهدين. اللهمّ صليّ على سيّدنا محمد صلى الله عليه فى الأوّلين والآخرين وعلى آله والطّيّبين الطّاهرين وسلّم تسليمًا كثيرا.
أمّا بعد، ايّها النّاس أوصيكم ونفسي بتقوى الله وكونوا مع الصّادقين والـمخلصين. إعلموا أنّ هذا اليوم يوم عظيم لقد سرّفه الله بالتّضحيّة لقوله تعالى: إنّا أعطيناك الكوثر، فصلّ لربّك وانحــر، إنّ شانئك هو الأبتر
لله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
ألله أكبر كبيراً والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرةً وأصيلا لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمدُ
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah :
Hari ini adalah hari raya Idul Adha, yang merupakan satu di antara dua hari raya umat Islam. Setelah pada 1 Syawwal umat Islam merayakan hari raya Idul Fitri, maka pada 10 Dzulhijjah Allah menganugerahkan Idul Adha sebagai hari besar mereka, sebagai hari bersuka cita dengan mengagungkan syiar-syiar Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebagaimana sebuah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasaa’i :
عن أنس قال قدم رسول الله ص.م. المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما في الجاهلية فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال يا رسول الله ص.م. إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى و يوم الفطر (رواه أبو داود والنسائي).
Artinya : Diriwayatkan dari Anas ibnu Malik ia berkata: Rasulullah saw tiba di Madinah (dan beliau melihat) mereka mempunyai dua macam hari yang mereka merayakannya dengan permainan. Beliau bertanya: Hari apa ini? Mereka menjawab: Di zaman Jahiliyyah kami memeriahkannya dengan permainan. Lalu Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari ini untuk kamu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. (HR. Abu Dawud dan An-Nasaa’i).
Kedua hari raya tersebut dirayakan dengan saling memberi dan menghidangkan makanan; sehingga berpuasa pada waktu itu dilarang secara syar’i. Ada kegembiraan umat Islam di sana. Ada pula gerakan berdimensi ekonomi-sosial yakni zakat dan qurban. Ada silaturahim yang khusyu’ dan mengharukan.
Kedua hari raya tersebut identik satu sama lain, dirayakan dengan kumandang takbir, tahmid dan tahlil, diagungkan dengan menuntaskan ibadah yang komprehensif: individual-sosial, mengeliminir dikotomi diferensial kaya-miskin, tua-muda, berpangkat jabatan atau pun tidak, cendikia maupun awam, semuanya berada pada kesetaraan, shalat di tempat yang sama, berdzikir di tempat yang sama, mendengarkan pesan-pesan Allah dan Rasulnya melalui khotbah di tempat yang sama.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
عن الحسن السبط قال : أمرنا رسول الله ص.م. في العيدين أن نلبس أجود ما نجد أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد (البقرة عن سبعة و الجزر عن عشرة) و أن نظهر التكبير و السكينة و الوقار.
Diriwayatkan dari Al-Hasan cucu Rasulullah saw (dilaporkan bahwa) ia mengatakan: Kami diperintahkan oleh Rasulullah saw untuk pada dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) memakai pakaian kami terbaik yang ada, memakai wangi-wangian terbaik yang ada, dan menyembelih binatang qurban tergemuk yang ada (sapi untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang) dan agar kami menampakkan keagungan Allah, ketenangan, dan kekhidmatan.
Hadits tersebut mengajarkan kepada kita, betapa dalam rangka mengagungkan Allah sebagai Dzul Jalali wal Ikram, Yang memiliki kedigdayaan dan segala kemuliaan, hendaknya setiap diri memperindah dirinya, berpenampilan dengan penampilan yang terbaik dalam hidupnya, memakai parfum/wangi-wangian yang terbaik, berqurban dengan binatang qurban dengan kualitas yang unggul, mengikuti jalannya sidang shalat Idul Adha dengan tertib, tenang dan dengan penuh pengharapan akan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Intinya adalah untuk mengharap keridhaan Allah Yang Maha Tinggi, hendaknya setiap hamba menampilkan segala sesuatu yang terbaik yang dia miliki. Untuk mendapatkan respon terbaik dari yang diharapkan, maka berikan yang terbaik untuk-Nya Robbuna ‘Azza wa Jalla.
Disamping itu, dianjurkan untuk merayakan hari raya ini dengan massal, hendaknya setiap muslim dan muslimat datang berduyun-duyun ke lapangan meramaikan prosesi kekhidmatan shalat Idul Adha dan mendengarkan khotbah. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan ‘Ummu Athiyyah al-Anshariyyah bahwa ia berkata:
عن أم عطية الأنصارية قالت. كان رسول الله ص.م. يأمرنا أن نخرج العواتق و الحيض و ذوات الخدور فأما الحيض فيعتزلن المصلى و يشهدن الخير و الدعوة مع المسلمين (رواه أحمد)
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah bahwa ia berkata: Rasulullah saw memerintahkan kami supaya menyuruh keluar semua gadis remaja, wanita yang sedang haid, dan wanita pingitan. Adapun wanita sedang haid supaya tidak memasuki area lapangan tempat shalat, tetapi turut menyaksikan kebaikan hari raya itu dan dakwah yang disampaikan khatib bersama kaum Muslimin (HR.Ahmad).
Hal ini menjadi hikmah, betapa kualitas itu penting, namun kuantitas juga tak kalah pentingnya. Ibadah itu adalah sinergi antara kualitas dan kuantitas. Shalat berjamaah itu dilakukan dengan massal, namun begitu tertibnya, jika imam takbir, makmum serentak bertakbir setelahnya, jika imam rukuk, makmum ikut rukuk serentak, begitu pula imam sujud hingga salam. Gerakan-gerakan massal yang tertib, indah dan serentak ini lah merupakan sinergi kuantitas yang berkualitas. Ibadah bukan saja esensi vertikal antara seorang hamba kepada Tuhannya, namun lebih dari itu, bagaimana seorang hamba dapat bersinergi positif dengan hamba-hamba Allah lainnya, menciptakan iklim yang kondusif, menyemai kepedulian terhadap sesama, dan mewujudkan keadilan sosial yang merata. Maka ramaikanlah kemeriahan Idul Adha dengan berkumpul bersama, agar semua insan dapat mengenal satu sama lain, mengetahui kabar antara satu keluarga dengan keluarga lain, saling bersalam-salaman dan bertegur sapa, dalam rangka mengeratkan kembali buhul-buhul silaturrahim yang pernah terurai.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, jama’ah shalal Idul Adha yang dirahmati Allah:
Sejarah qurban ternyata seumur dengan sejarah keberadaan manusia di muka bumi ini. Hal ini terbukti dari kisah qurban yang termaktub dalam QS. Al-Maidah : 27,
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya : Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Maidah : 27)
Rasulullah saw diperintah Allah agar menerangkan suatu peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu, yakni tatkala dua anak Adam berqurban :
Kedua anak Adam (Habil dan Qabil) telah berkurban dengan barang yang sejenis dan dengan cara yang sama. Akan tetapi ternyata tidak setiap yang dinamakan “qurban” diterima Allah karena nilai suatu pengorbanan tidaklah ditentukan atau diukur dengan harganya, bentuk barangnya, atau jumlahnya, tetapi pengorbanan dinilai berdasarkan niat, keikhlasan, kelayakan yang berimbang dengan kemampuannya, dan semata-mata melaksanakan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setelah diketahui bahwa qurbannya seorang anak Adam tidak diterima oleh Allah Subahanahu wa Ta’ala, ia marah. Syaithan menyusup ke dalam hatinya untuk membangkitkan energi negatif berupa rasa iri, hasud dan dengki. Kemudian terwujudlah dalam bentuk ancaman terhadap saudaranya yang beruntung karena qurbannya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saudaranya membela diri dengan mengatakan: “Qurbanmu ditolak bukanlah karena salahku, melainkan karena salahmu sendiri. Kamu berqurban, tetapi tidak mencerminkan keikhlasan.”
Pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa qurban pertama dalam sejarah manusia ini adalah betapa niat dalam beribadah adalah menjadi tolok ukur diterima atau ditolaknya sebuah amalan. Allah tidak menilai dari seberapa besar nilai materiil yang engkau berikan, seberapa mewah pemberian yang engkau sedekahkan, namun Allah hanya menilai seberapa ikhlas engkau mengorbankan apa yang engkau miliki dan seberapa besar kecintaanmu pada Allah sehingga engkau rela untuk mengorbankan apa yang engkau begitu cintai dalam hidupmu. Itulah sebenarnya yang menjadi parameter diterima atau tidaknya suatu amal ibadah.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, jama’ah shalal Idul Adha yang dirahmati Allah:
Peristiwa besar berikutnya, yang menandai qurban terbesar dalam sejarah kehidupan manusia adalah yang tertulis dalam QS. Ash-Shaffat: 102 – 110,
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
Artinya : Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ
Artinya : “Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim”.
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya : “Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
إنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ
Artinya : “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Artinya : “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
Artinya: “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”
سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ
Artinya : (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”
كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Behind the scene:
Nabi Ibrahim a.s. ingin sekali mendapat karunia berupa keturunan (seorang anak). Dia berdoa: Rabbi hablii minash-shalihiin! Wahai Rabb-ku, karuniakanlah kepadaku sebagian dari keturunanku dari orang-orang yang saleh!”
Doa Nabi Ibrahim a.s. itu dikabulkan Allah. Dia diberi kabar bahwa dia akan memperoleh anak yang shalih.
Anak yang sangat didambakan kehadirannya itu lahir jua. Dia amat mencintai dan menyayanginya. Akan tetapi ternyata di kala anaknya menjelang dewasa, Allah memerintahkan kepada Ibrahim agar anak terkasihnya itu disembelih sebagai qurban. Nabi Ibrahim yang memiliki iman yang kuat, ketakwaan, kesabaran, dan berkeyakinan bahwa setiap perintah Allah itu pasti mengandung rahmat, dia dan putranya (Ismail) tidak ragu-ragu lagi untuk menjalankan perintah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Setelah ternyata kekuatan iman Nabi Ibrahim beserta anaknya, Ismail, terbukti ketaatannya dan kesabarannya, Allah memerintahkan agar tidak jadi menyembelih anaknya sebagai qurban. Perintah ini disambut dengan penuh suka cita. Hal ini imbalan dari Allah bagi Nabi Ibrahim a.s. beserta anak istrinya yang teruji sebagai manusia muhsiniin. Siapa itu muhsiniin? Adalah mereka yang berbuat kebaikan, taat dan berbakti kepada Allah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Penyembelihan anaknya itu memanglah tidak jadi, tetapi yang terpenting adalah bahwa perintah Allah telah dikerjakan dengan pasti serta telah dipenuhinya dengan sebaik-baiknya. Kemudian Nabi Ibrahim diperintah Allah agar menggantikan qurbannya dengan menyembelih biri-biri yang besar.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah yang mengharukan tersebut adalah bahwa untuk menghadapi ujian yang besar, diperlukan kesiapan yang besar pula, kesiapan yang terbesar untuk menghadapi tantangan yang berat itu tidak lain adalah IMAN yang besar. Lulusnya Nabi Ibrahim yang didukung dengan kesabaran, budi baik, dan iman yang tangguh dari seorang anak yang bernama Ismail tersebut tiada lain adalah KEIMANAN yang tahan uji. Berkat KEIMANAN yang tahan uji inilah berbuah rahmat dari Allah ‘Azza wa Jalla berupa selamatnya Ismail dari pertumpahan darah, dan dengan selamatnya Ismail ini, maka selamat pula generasi anak setelahnya. Jika pada saat itu, Ismail betul-betul menjadi qurban yang disembelih, niscaya hal tersebut akan menjadi “sunnah” yang patut dikerjakan pada umat setelahnya. Namun Allah Maha Kuasa, Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Huwar-Rahmanur Rahim, Maha Pelindung dan Maha Penyelamat, Allah luluskan Nabi Ibrahim dengan ujian dari-Nya, dan Allah gantikan objek perintah qurban itu dengan binatang ternak.
Maka, momentum Idul Adha adalah momentum di mana umat Islam patut bersyukur dan bersuka cita, bersyukur karena selamat dari beban perintah menyembelih anak kandungnya sendiri, dan bersuka cita dalam rangka menapaktilas kebahagiaan Ibrahim dan Ismail ‘alahimassalaam ketika lulus dari ujian Allah. Maka mari wujudkan kebahagian itu dengan berbagi dan peduli terhadap sesama, bahagiakan mereka yang tengah lapar dan dahaga, kembalikan senyum-senyum mereka anak-anak yatim dan dhu’afa’.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Qurban Jahiliyyah
Peristiwa berikutnya adalah Qurban Jahiliyyah.
Pada zaman jahiliyyah, Abdul Muthallib telah menyembelih seratus ekor unta sebagai qurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fuqara’ wal masakin. Sekalipun qurban tersebut dilakukan dengan niat yang baik, tidaklah tergolong qurban yang benar, karena diperbuat bukan semata-mata niat ikhlas karena Allah ‘Azza wa Jalla.
Abdul Muththalib, tatkala ia hendak menggali kembali sumur Zamzam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun ia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu, ia bernazar, bila ia dikarunia sepuluh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa, serta mampu pula membantunya pada saat-saat kesulitan kelak, ia akan menyembelih salah seorang dari putranya itu di dekat Ka’bah.
Abdul Muththalib dengan ketulusan hatinya memenuhi nazarnya. Lalu dilakukan undian atas kesepuluh anaknya itu di hadapan berhala Hubal. Undian itu jatuh pada anaknya yang bernama Abdullah (ayah Rasulullah saw). Kaumnya, yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai qurban untuk memenuhi nazarnya.
Abdul Muthallib merasa khawatir serta cemas menyalahi nazarnya, ia pergi ke Yatsrib (Madinah) untuk bertanya kepada Arrafat seorang dukun (syaman). Diterangkannya segala sesuatu yang telah terjadi atas dirinya. Setelah itu ditanyakan pula jumlah unta yang harus disembelih bila ia mengurungkan penyembelihan anaknya (Abdullah).
Arrafat menjelaskan bahwa bila undian yang dilakukan di hadapan Hubal itu jatuh kepada anaknya yang bernama Abdullah, maka hendaklah ditebus dengan menyembelih sepuluh ekor unta setiap undian. Akan tetapi, apabila undian jatuh pada unta, maka terbebaslah Abdullah dari tuntutan nazar. Kemudian Abdul Muththalib kembali ke Mekkah.
Sesampainya di Mekkah, Abdul Muththalib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah, dilakukan penyembelihan sepuluh ekor unta sebagai penebusnya. Demikianlah undian tersebut berkali-kali diulangi, tetapi selalu saja jatuh pada Abdullah, bukan pada unta. Baru setelah kesepuluh kalinya, undian jatuh pada unta. Maka setelah itu, barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan sepuluh kali sepuluh unta sama dengan seratus ekor unta.
Undian yang dilakukan Abdul Muthathalib di atas dikenal dengan istilah azlam, dan dilakukan atau dilaksanakan di hadapan berhala Hubal. (Fataatu Ghasaan: 76-77)
Sekalipun jumlah yang dikorbankannya itu seratu ekor unta, kemudian disembelih dengan ketulusan hati, namun hal itu tidaklah tergolong qurban, karena sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai TAUHID, tidak didasari ketaatan kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala, tetapi semata karena petunjuk kaahin atau dukun, dan ditujukan kepada Hubal berhala sesembahan.
Demikian halnya pula sembelihan yang dilakukan sebagai “tumbal”, sembelihan untuk “bela” sewaktu mengkhitan anak, serta sembelihan lainnya yang menistakan TAUHID, hukum haram dan tidak tergolong dalam kategori qurban.
Rasulullah saw bersabda:
“Allah melaknat orang yang mengutuk ibu-bapaknya, Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, dan Allah melaknat orang yang melindungi ahli bid’ah (yang melanggar aturan dan ketetapan Allah), dan Allah melaknat orang yang mengubah batas-batas tanah.” (HR.Muslim, Ahmad, dan An-Nasaa’i dalam Jaami’ush-shaghiir).
Esensi Qurban
Dalam riwayat-riwayat tersebut di atas, terlukis jelas bahwa harga dan nilai qurban itu adalah ketaqwaan (GOD-FEARING, OBEDIENCE and DEVOTION), kesabaran dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh keikhlasan (patience in carrying out ALLAH’s commands with full sincerity).
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hajj: 36-37
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ ۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ ۖ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ.
Artinya: Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa harga dan nilai qurban pada pandangan Allah ialah pembangkit utama yang menggugah niat yang ikhlas, dilakukan sebagaimana yang dijelaskan dan dipesankan Allah, mencerminkan keteguhan iman (the firmness of faith) dan ketaqwaan yang murni (pure piety).
Menilik pada ayat di atas, bahwa yang dimaksud falsafah qurban itu esensinya adalah “mendekatkan diri kepada Allah”, sesuai dengan asal kata qurban itu sendiri, yaitu qarraba/ taqarraba – yataqarrabu – taqarruban, adapun pembangkit niatnya adalah ketaqwaan, dan dilakukan sesuai dengan perintah agama.
Semoga Allah menerima segala amal ibadah dan qurban kita semua, meluruskan niat-niat kita semua agar senantiasa dalam koridor taqwa kepada-Nya, La hawla wa laa quwwata illa billah; tiada daya dan kekuatan kecuali datangnya dari Allah ‘Azza wa Jalla.
بارك الله لي و لكم في القرآن العظيم . و نفعني و إياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم. أقول قولي هذا و استغفر الله العظيم لي و لكم و لسائر المسلمين من كل ذنب فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
Khotbah Kedua
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
ألله أكبر كبيراً والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرةً وأصيلا لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمدُ
الحمد للهِ عَلَى إِحْسَانِهِ وَالشُّكرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيْقِهِ وامْتِنَانِهِ. وأَشْهَدُ أَنْ لا إلهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدِناَ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إِلَى رِضْوَانِهِ. اللّهُمَّ صَلِّ على سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلهِ وأصْحَابِهِ وسَلَّمَ تَسْليْماً كَثِيْراً. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهاَ النَّاسُ اتَّقُواالله فِيْماَ أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وزَجَرَ.
وأعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وثَنَى بِمَلاَئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وقَالَ تَعَالىَ: إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الذِيْنَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيهِ و سَلِّمُوا تَسْلِيْماً.
اللهم صل على مُحَمّد وعلى آل مُحَمَّد وعلى أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ ومَلاَئِكَةِ المقربين، وارض اللهم عن الخلفاء الراشدين، أبي بكر وعمر وعثمان وعلي، وعن سائر أصحاب نبيك أجمعين، وعن التابعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الاحياء منهم والاموات انك سبحانك سميع قريب مجيب الدعوات
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمِيْنَ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعفافَ والْغِنَى
للَّهمَّ أَصْلِحْ لنا دِيننا الَّذي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنا ، وأَصْلِحْ لنا دُنْيَانا التي فِيهَا مَعَاشنا ، وَأَصْلِحْ لنا آخِرَتنا الَّتي فِيها معادنا، وَاجْعلِ الحيَاةَ زِيادَةً لنا في كُلِّ خَيْرٍ ، وَاجْعَلِ الموتَ راحَةً لنا مِنْ كُلِّ شَرٍ
اللَّهُمَّ إِنّا نَسْأَلُكَ مُوجِباتِ رحْمتِكَ ، وَعزَائمَ مغفِرتِكَ ، والسَّلامَةَ مِن كُلِّ إِثمٍ ، والغَنِيمَةَ مِن كُلِّ بِرٍ ، وَالفَوْزَ بالجَنَّةِ ، وَالنَّجاةَ مِنَ النَّارِ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبنا أَدْخِلْنا مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنا مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لنا مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
اللهم حجا مبرورا و سعيا مشكورا و ذنبا مغفورا
اللهم لا سهل إلا ما جعلته سهلا و أنت تجعل الحزن إذا شئت سهلا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
عباد الله، إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلإْحْسَانِ وَإِيتَآء ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَاء وَٱلْمُنْكَرِ وَٱلْبَغْى يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ وَأَوْفُواْ بِعَهْدِ ٱللَّهِ إِذَا عَـٰهَدتُّمْ وَلاَ تَنقُضُواْ ٱلأيْمَـٰنَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ ٱللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً إِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ، واذكروا الله العظيم الجليل يذكركم، واشكروه على نعمه يزدكم، ولذكر الله أكبر، الله يعلم ما تصنعون
تقبل الله منا و منكم أجمعين و السلام عليكم و رحمة الله و بركاته —
*) Disampaikan pada Khotbah Idul Adha 10 Dzulhijjah 1440H/11 Agustus 2019 di Lapangan Kantor Dinas PU Jl.Parit Indah – Kota Pekanbaru.